hargasaham.id – , JAKARTA – Bayangkan sebuah dana besar tersimpan rapi di Bank Indonesia, sementara perekonomian nasional bergerak lebih lambat dari yang diharapkan. Itulah potret nyata yang sedang dihadapi Indonesia. Dalam rapat bersama Komisi XI DPR RI pada 10 September 2025, Menteri Keuangan Purbaya menawarkan langkah strategis: menyalurkan Rp200 triliun dana pemerintah yang berada di Bank Indonesia kepada bank umum. Dana tersebut akan diarahkan untuk kredit produktif dan pembiayaan sektor riil, bukan lagi untuk membeli surat utang seperti SBN atau SRBI.
Kebijakan ini menyerupai air yang menyiram tanah kering: ia berpotensi menyegarkan kembali aktivitas usaha dan membuka jalan bagi pertumbuhan yang lebih cepat. Namun, setiap strategi besar selalu memiliki dua sisi. Ia menyimpan peluang besar untuk kemajuan, tetapi sekaligus menghadirkan risiko yang menuntut kewaspadaan tinggi. Karena itu, analisis komprehensif dari berbagai perspektif—pemerintah, Bank Indonesia, bank umum, hingga perekonomian secara makro—menjadi hal yang sangat penting.
Pemerintah Menjawab Tantangan Pertumbuhan dengan Strategi Agresif
Bagi pemerintah, penyaluran dana sebesar Rp200 triliun berarti membuka tabungan untuk tujuan mendesak. Dengan mengalirkan dana tersebut, pemerintah dapat mendukung UMKM, mempercepat pembangunan infrastruktur, dan menciptakan lapangan kerja baru. Kebijakan ini sejalan dengan visi Asta Cita Presiden Prabowo yang menekankan pertumbuhan ekonomi inklusif hingga ke lapisan masyarakat terbawah.
Selain itu, keputusan ini menegaskan respons proaktif pemerintah terhadap tantangan penyerapan belanja negara yang sering melambat. Pemerintah memilih jalur kreatif tanpa menambah utang baru maupun mencetak uang tambahan. Meskipun demikian, disiplin fiskal tetap menjadi kunci. Investor global akan menilai kebijakan ini dengan seksama. Jika muncul keraguan terhadap kehati-hatian fiskal, risiko arus modal keluar bisa meningkat, yang pada gilirannya menekan nilai tukar rupiah dan menaikkan biaya pinjaman. Oleh karena itu, pemerintah harus memperkuat koordinasi dengan BI, menjaga transparansi implementasi, dan mengawasi setiap tahap pelaksanaannya secara cermat.
Bank Indonesia Mengatur Irama Stabilitas
Sebagai pengendali stabilitas moneter, Bank Indonesia memegang peran sentral. Penyaluran Rp200 triliun ke bank umum akan memperluas basis moneter atau uang primer, yang pada gilirannya memperlancar likuiditas di sistem perbankan. Dengan koordinasi yang harmonis bersama Kementerian Keuangan, BI dapat mendukung pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi tanpa harus melakukan intervensi moneter berlebihan.
Namun, BI juga perlu menjaga bantalan likuiditas yang biasanya disimpan melalui dana pemerintah. Jika cadangan itu menipis, ruang BI untuk mengendalikan lonjakan uang beredar menjadi terbatas. Risiko inflasi atau tekanan nilai tukar bisa meningkat jika bank gagal menyalurkan dana ke sektor produktif. Pengalaman pandemi 2020–2021 membuktikan bahwa suntikan likuiditas dapat berhasil ketika pemerintah dan BI menjaga kendali secara ketat. Pelajaran itu kini kembali relevan.
Bank Umum Menyambut Dana dengan Peluang dan Risiko
Bagi bank umum, tambahan Rp200 triliun ibarat bahan bakar segar. Dengan dana murah, bank bisa menawarkan pinjaman yang lebih kompetitif untuk UMKM, petani, atau sektor riil. Sejarah bahkan mencatat bahwa penempatan dana pemerintah sebesar Rp66,99 triliun pada 2020–2021 mampu melipatgandakan kredit hingga Rp387 triliun. Artinya, efek pengganda benar-benar nyata.
Namun, peluang besar ini juga menghadirkan tantangan. Jika bank terlalu bergantung pada dana pemerintah, inisiatif untuk menghimpun dana masyarakat bisa melemah. Risiko kredit macet pun meningkat jika pinjaman tidak disalurkan ke sektor yang benar-benar produktif. Oleh karena itu, bank harus disiplin dalam memilih sektor prioritas, menilai kelayakan debitur, dan menjaga prinsip kehati-hatian. Tanpa langkah tersebut, kebijakan justru bisa menjadi beban baru bagi industri perbankan di masa depan.
Jalan Menuju Pertumbuhan atau Ancaman Inflasi?
Secara makro, kebijakan Rp200 triliun dapat menjadi katalis yang menghidupkan kembali roda ekonomi. Kredit produktif mampu mendorong konsumsi, investasi, dan penciptaan lapangan kerja. Uang beredar di masyarakat akan meningkat, sehingga aktivitas ekonomi bergerak lebih cepat. Jika strategi ini berjalan mulus, pertumbuhan ekonomi bisa melampaui target 5% dan tingkat kemiskinan berpotensi turun.
Namun, kelebihan likuiditas juga tidak lepas dari risiko. Inflasi bisa melonjak jika penyaluran kredit tidak tepat sasaran. Rupiah dapat melemah bila impor naik karena kenaikan permintaan. Tanpa reformasi struktural, seperti penguatan sektor manufaktur, pencegahan deindustrialisasi, serta peningkatan upah minimum, manfaat kebijakan bisa terbatas.
Pelajaran global memberikan panduan penting. Uni Eropa berhasil mendorong kredit nyata melalui TLTRO sejak 2014, tetapi menciptakan ketergantungan pada bank sentral. Tiongkok menyalurkan PSL ke proyek publik, namun menghadapi risiko utang. Brasil sukses melalui BNDES dengan pembiayaan UMKM, sementara AS menggunakan TARP 2008 untuk menyelamatkan sistem perbankan meski penuh kontroversi. Sebaliknya, kegagalan di Chili, Meksiko, Thailand, dan Argentina membuktikan bahwa tanpa pengawasan ketat, kebijakan semacam ini dapat berakhir sebagai bumerang.
Momentum Besar Menuntut Eksekusi Cermat
Indonesia memiliki sejarah panjang dalam menghadapi krisis, mulai dari 1998 hingga pandemi 2020. Kebijakan penyaluran Rp200 triliun kini membuka peluang baru untuk memperkuat UMKM, menciptakan lapangan kerja, dan mendorong pertumbuhan inklusif. Namun, keberhasilan hanya akan tercapai jika tiga pilar dijalankan secara konsisten: penyaluran kredit produktif dengan tata kelola yang baik, koordinasi erat antara Kementerian Keuangan dan BI, serta evaluasi berkala untuk menjaga stabilitas makro.
Dengan kolaborasi, transparansi, dan kewaspadaan, kebijakan ini dapat menjadi jalan terang bagi perekonomian Indonesia. Mari sambut langkah ini dengan optimisme, tetapi jangan pernah melepaskan kewaspadaan. Karena pada akhirnya, masa depan ekonomi bangsa akan ditentukan bukan hanya oleh besarnya dana, tetapi oleh kecermatan dalam mengelolanya.