hargasaham.id – Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengumumkan langkah besar dengan menyalurkan dana pemerintah sebesar Rp200 triliun ke bank anggota Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) pada Jumat (12/9/2025). Ia menarik dana tersebut dari tabungan pemerintah di Bank Indonesia (BI) yang mencapai Rp440 triliun. Purbaya menegaskan, pencairan dana terjadi pada hari yang sama, bahkan ia memastikan dana sudah masuk ke rekening bank Himbara pada sore harinya.
Langkah ini menimbulkan diskusi luas di kalangan ekonom. Mereka menilai kebijakan tersebut berpotensi mendukung perekonomian, namun efektivitasnya sangat bergantung pada eksekusi di lapangan.
Ekonom Menilai Penyaluran Dana Belum Tentu Mendorong Pertumbuhan
Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), memberikan pandangan kritis. Ia menekankan bahwa penyaluran dana dari BI ke Himbara tidak otomatis meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Menurutnya, beberapa prasyarat perlu terpenuhi sebelum kebijakan ini benar-benar berdampak.
Pertama, pemerintah harus menjelaskan proyek apa yang akan dibiayai Himbara melalui dana tersebut. Jika dana justru mengalir ke program dengan risiko tinggi, seperti program makan bergizi gratis (MBG) atau koperasi desa, maka potensi kegagalan cukup besar. Bhima mencontohkan, penyerapan anggaran MBG saat ini masih di bawah 15 persen. Angka tersebut menunjukkan masalah ada pada pelaksanaan, bukan pada keterbatasan dana.
Kedua, Bhima mengingatkan risiko salah arah penggunaan dana. Ia khawatir Himbara lebih banyak menyalurkan kredit untuk sektor energi fosil dibanding mendukung energi terbarukan. Jika hal itu terjadi, dana pemerintah justru menambah jumlah aset terlantar (stranded asset) yang tidak lagi relevan dalam transisi energi global.
Ketiga, ia menilai Kementerian Keuangan perlu membuat regulasi teknis agar dana benar-benar mengalir sesuai misi Presiden Prabowo, yaitu mencapai 100 persen energi terbarukan dalam 10 tahun mendatang. Aturan jelas akan mencegah bank menyalurkan kredit sembarangan yang berpotensi menimbulkan moral hazard.
Bhima menegaskan, tambahan likuiditas bagi Himbara harus mendorong sektor pencipta lapangan kerja. Energi terbarukan, misalnya, berpotensi menciptakan 19,4 juta pekerjaan hijau dalam 10 tahun ke depan. Namun, hingga kini, porsi kredit Himbara ke sektor tersebut masih di bawah 1 persen. Ia menilai langkah Purbaya seharusnya menjadi momentum mempercepat transisi menuju ekonomi hijau.
Ekonom Ingatkan Risiko Inflasi dan Kredit Bermasalah
Selain membahas efektivitas, Bhima juga mengingatkan adanya risiko inflasi. Ia memang menilai potensi inflasi kecil karena dana tidak langsung tersalurkan sebagai kredit tahun ini, tetapi tetap ada kemungkinan tekanan harga.
Bhima membandingkan kebijakan Purbaya dengan langkah Sri Mulyani saat pandemi. Ketika itu, pemerintah juga menarik dana dari BI, dan dampaknya menimbulkan risiko inflasi, penurunan independensi BI, serta menurunnya kepercayaan investor. Menurutnya, perbedaan bukan hanya pada strategi, melainkan pada pemahaman risiko.
Saat ini, Purbaya lebih menekankan sisi moneter dengan menambah uang beredar, sementara stimulus pajak belum tersentuh. Kondisi tersebut berpotensi menimbulkan ketidakseimbangan. Uang mengalir ke perbankan, tetapi permintaan kredit belum tentu naik karena daya beli masyarakat melemah. Pengusaha pun enggan meminjam dana jika tidak ada permintaan pasar.
Jika pemerintah memaksa bank segera menyalurkan kredit, risiko meningkat. Himbara mungkin menyalurkan pinjaman ke sektor berisiko tinggi demi memenuhi target. Hal itu bisa meningkatkan rasio kredit bermasalah (Non-Performing Loan/NPL). Menurut Bhima, kebijakan Purbaya masih belum teruji efektivitasnya dan berpotensi menimbulkan konsekuensi yang serius.
Perlu Perbaikan pada Sisi Permintaan dan Pasokan Bersamaan
Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menilai langkah penarikan dana Rp200 triliun tidak otomatis mendorong ekonomi. Ia menekankan kondisi perbankan saat ini justru mengalami kelebihan likuiditas. Pertumbuhan kredit berjalan lambat karena dunia usaha enggan melakukan ekspansi.
Menurut Wijayanto, jika pemerintah hanya menambah pasokan dana tanpa memperbaiki sisi permintaan, maka dampak pada perekonomian tetap minim. Ia menyarankan pemerintah menciptakan iklim usaha yang kondusif agar dunia usaha lebih berani berekspansi. Insentif pajak, kemudahan regulasi, dan dukungan pada sektor produktif dapat menumbuhkan permintaan kredit secara alami.
Ia juga menyinggung risiko penggunaan dana Rp200 triliun. Karena dana tersebut berbunga 4 persen, bank tidak mungkin membiarkannya menganggur. Bank kemungkinan akan melakukan refinancing terhadap kredit lama dengan dana tersebut. Setelah itu, hasil refinancing bisa dialihkan ke pembelian Surat Berharga Negara (SBN) atau instrumen keuangan lain. Aliran dana seperti ini justru keluar dari sistem ekonomi produktif.
Menurut Wijayanto, strategi Keynesian lebih relevan dibanding pendekatan Monetaris. Keynesian mendorong perbaikan sisi permintaan agar konsumsi dan investasi meningkat bersamaan dengan ketersediaan likuiditas. Pendekatan tersebut lebih efektif dalam kondisi perlambatan ekonomi.
Ia juga menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara penggunaan dana untuk mendukung sektor riil dan menjaga cadangan pemerintah. Dana pemerintah di BI berasal dari Saldo Anggaran Lebih (SAL), yang berfungsi membiayai APBN pada awal tahun ketika penerimaan pajak belum masuk. Dari total Rp440 triliun, pemerintah hanya menyisakan Rp240 triliun setelah penempatan di Himbara.
Wijayanto mengingatkan bahwa kebutuhan kas negara bisa mencapai Rp100 triliun per bulan. Dalam kondisi sulit, angka tersebut bahkan bisa meningkat lebih besar. Dengan demikian, pemerintah harus berhati-hati agar cadangan SAL tidak terkuras sebelum penerimaan negara benar-benar stabil.
Kebijakan Perlu Arah yang Jelas dan Pengawasan Ketat
Langkah Menteri Keuangan Purbaya menyalurkan dana Rp200 triliun ke Himbara menunjukkan ambisi kuat untuk mendukung ekonomi nasional. Namun, para ekonom menekankan bahwa kebijakan ini bukan jaminan otomatis bagi pertumbuhan. Tanpa arah yang jelas, risiko penyalahgunaan dana, inflasi, serta kredit bermasalah bisa meningkat.
Pemerintah perlu memastikan dana benar-benar mengalir ke sektor produktif, khususnya energi terbarukan dan pencipta lapangan kerja. Selain itu, Kementerian Keuangan wajib menyusun aturan teknis agar bank tidak salah arah dalam menyalurkan kredit.
Dalam situasi ekonomi yang penuh ketidakpastian, strategi terbaik adalah menyeimbangkan sisi pasokan dan permintaan. Pemerintah harus menciptakan iklim usaha yang kondusif, memberi insentif bagi sektor produktif, serta menyalurkan likuiditas secara bertahap. Dengan kombinasi langkah yang hati-hati, dana Rp200 triliun bisa menjadi katalis pertumbuhan ekonomi berkelanjutan, bukan sekadar tambahan likuiditas di perbankan.