hargasaham.id – Isu utang publik terus menarik perhatian global karena banyak negara menghadapi tekanan fiskal baru. Pandemi COVID-19, ketegangan geopolitik, serta perlambatan ekonomi memaksa pemerintah di berbagai belahan dunia menambah beban pinjaman. Untuk menilai kondisi tersebut, International Monetary Fund (IMF) melalui laporan World Economic Outlook (WEO) edisi April 2025 merilis daftar rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dari puluhan negara.
Rasio utang terhadap PDB menjadi indikator penting karena menggambarkan seberapa besar kemampuan suatu negara menanggung kewajiban fiskalnya dibandingkan dengan total output ekonomi. Semakin tinggi persentasenya, semakin berat pula beban yang harus ditanggung anggaran negara.
IMF mencatat negara maju cenderung memiliki rasio utang lebih tinggi dibandingkan negara berkembang. Negara maju rata-rata mencatatkan 110 persen terhadap PDB, sementara negara berkembang serta pasar baru hanya sekitar 74 persen.
Sudan Menggeser Jepang sebagai Negara dengan Utang Tertinggi
Sudan menduduki peringkat pertama dengan rasio utang publik mencapai 252 persen terhadap PDB. Angka itu menggeser Jepang yang selama bertahun-tahun dikenal sebagai negara dengan beban utang terbesar. Jepang kini berada di posisi kedua dengan rasio 235 persen.
Singapura menyusul di urutan ketiga dengan 175 persen, diikuti Yunani 142 persen. Posisi berikutnya ditempati Bahrain dan Maladewa yang sama-sama mencatatkan 141 persen. Italia berada di urutan ketujuh dengan 137 persen, lalu Amerika Serikat 123 persen, Prancis 116 persen, serta Kanada 113 persen.
Negara-negara dengan rasio di atas 100 persen masih meliputi Senegal (111 persen), Ukraina (110 persen), Cape Verde (110 persen), Belgia (106 persen), Inggris (104 persen), Bhutan (103 persen), Mozambik (101 persen), dan Spanyol (101 persen). Dominika serta Barbados sedikit lebih rendah dengan 98 persen.
Tiongkok juga termasuk dalam kelompok rasio tinggi dengan 96 persen. Setelahnya, Saint Vincent dan Grenadines mencatatkan 94 persen, Yordania 93 persen, sedangkan Brasil, Bolivia, dan Portugal sama-sama di 92 persen.
Kongo dan Laos berada di 91 persen, sementara El Salvador, Mesir, dan Suriname di kisaran 87–88 persen. Finlandia menutup kelompok ini dengan 86 persen, Uni Eropa 84 persen, lalu Mauritius, Austria, dan Tunisia di 83 persen.
Indonesia Menempati Peringkat 129 Dunia
Berbeda dengan banyak negara lain, Indonesia justru menunjukkan rasio utang yang relatif rendah. Data IMF menempatkan Indonesia pada posisi 129 dengan rasio 41 persen terhadap PDB. Angka tersebut setara dengan Qatar yang berada di urutan 130.
Indonesia berhasil menjaga rasio tetap rendah karena pemerintah mengontrol defisit anggaran dalam batas wajar. Selain itu, kebijakan fiskal yang disiplin membantu menghindari lonjakan utang. Meskipun demikian, para ekonom menekankan bahwa tantangan tetap besar. Indonesia masih harus meningkatkan penerimaan negara agar ruang fiskal lebih luas menghadapi kebutuhan pembangunan.
Sebagai pembanding, Bangladesh, Kamerun, Iran, dan Guinea sama-sama mencatatkan rasio 40 persen. Kyrgyzstan mencatatkan 39 persen, Nikaragua dan Eswatini 38 persen, sedangkan Swiss, Irlandia, serta São Tomé dan Príncipe berada di 37 persen. Negara-negara lain bahkan lebih rendah lagi, seperti Moldova 36 persen, Georgia 36 persen, Oman 35 persen, Arab Saudi 35 persen, serta Vietnam 34 persen.
Data ini memperlihatkan bahwa banyak negara berkembang berusaha menjaga utang tetap terkendali. Namun, beberapa negara maju justru terus bergulat dengan beban fiskal besar meski memiliki kapasitas ekonomi lebih kuat.
Dampak Tingkat Utang Tinggi terhadap Perekonomian Global
Rasio utang publik yang tinggi selalu membawa konsekuensi serius bagi stabilitas ekonomi. Pemerintah dengan beban utang besar biasanya menghadapi tekanan bunga yang tinggi, pelemahan nilai tukar, serta penurunan daya tarik investasi. Sejarah menunjukkan bahwa lonjakan utang sering kali terjadi setelah krisis besar.
Krisis keuangan global 2008 menjadi contoh nyata. Banyak negara mengambil pinjaman besar untuk menyelamatkan sistem perbankan dan menopang ekonomi. Hal yang sama terjadi saat pandemi COVID-19, ketika stimulus fiskal masif membuat utang publik melonjak tajam.
IMF menegaskan bahwa utang memang dapat membantu pemerintah melewati resesi. Namun, jika rasio terlalu tinggi, risiko gagal bayar dan ketidakstabilan fiskal semakin besar. Negara-negara seperti Sudan atau Yunani pernah merasakan bagaimana krisis utang dapat melumpuhkan perekonomian dan memaksa mereka mencari bantuan internasional.
Meskipun demikian, negara seperti Jepang atau Amerika Serikat masih memiliki fleksibilitas karena mereka menerbitkan utang dalam mata uang sendiri. Kondisi tersebut membuat mereka relatif lebih aman dibanding negara berkembang yang mengandalkan pinjaman dalam mata uang asing. Walaupun begitu, beban bunga tetap menekan anggaran dan membatasi kemampuan untuk membiayai program pembangunan jangka panjang.
Posisi Indonesia dan Pelajaran Global
Daftar IMF 2025 menunjukkan kesenjangan besar antara negara dengan utang sangat tinggi dan negara yang berhasil menjaga rasio lebih rendah. Sudan, Jepang, serta Singapura menanggung beban fiskal raksasa, sementara Indonesia bersama banyak negara Asia lain berhasil menekan angka utang di bawah 50 persen.
Pelajaran penting dari data ini adalah pentingnya disiplin fiskal. Negara yang mampu mengendalikan belanja publik dan meningkatkan pendapatan lebih siap menghadapi krisis. Sebaliknya, negara dengan beban utang besar harus mencari cara cerdas untuk menyeimbangkan kebutuhan stimulus dengan keberlanjutan jangka panjang.
Dengan rasio 41 persen, Indonesia tergolong aman. Namun, situasi global yang tidak stabil menuntut kewaspadaan. Pemerintah perlu memperkuat basis pajak, menjaga defisit terkendali, serta memastikan belanja publik benar-benar produktif. Hanya dengan langkah itu, Indonesia bisa tetap tangguh menghadapi dinamika ekonomi dunia.