hargasaham.id -Jakarta – Nama Menteri Keuangan baru, Purbaya Yudhi Sadewa, langsung memicu diskusi luas sejak awal masa jabatannya. Pernyataannya terkait rencana menarik dana Rp 200 triliun dari Bank Indonesia (BI) membuat publik menaruh perhatian besar. Ia menyampaikan bahwa langkah ini bertujuan mempercepat perputaran uang di sistem perbankan dan mendorong pertumbuhan sektor riil.
Kebijakan ini kemudian menimbulkan perbandingan dengan gagasan yang pernah muncul pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri. Dorodjatun Kuntjoro Jakti, mantan Menteri Koordinator Bidang Ekonomi Kabinet Gotong Royong, juga pernah menyoroti kelebihan likuiditas Rp 200 triliun yang mengendap di perbankan saat pengangguran masih tinggi.
Anwar Abbas Menilai Gagasan Purbaya Mirip Dorodjatun
Ketua PP Muhammadiyah, Anwar Abbas, menyampaikan pandangan kritis terkait kebijakan Purbaya. Menurutnya, rencana pencairan dana Rp 200 triliun ke perbankan sejalan dengan pemikiran Dorodjatun dua dekade lalu. Anwar menegaskan bahwa kedua tokoh tersebut menyoroti masalah mendasar, yaitu pengangguran tinggi dan kemiskinan yang masih mengakar.
Ia memaparkan data resmi untuk memperkuat pandangan itu. Pada Maret 2025, tingkat kemiskinan mencapai 8,47 persen atau sekitar 23,85 juta jiwa. Sementara tingkat pengangguran terbuka pada Februari 2025 sebesar 4,76 persen dengan jumlah pengangguran sekitar 7,28 juta orang. Selain itu, hingga Juni 2025 terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap 42.385 pekerja, padahal angkatan kerja baru bertambah 3,67 juta orang.
Dengan kondisi tersebut, Anwar menilai negara membutuhkan modal besar untuk memperluas investasi dan membangun infrastruktur. Menurutnya, suntikan dana ke sektor riil akan membantu menciptakan lapangan kerja baru sekaligus mempercepat pertumbuhan ekonomi.
Perbedaan Purbaya dan Dorodjatun dalam Eksekusi Kebijakan
Meskipun ide Purbaya dan Dorodjatun terlihat serupa, perbedaan muncul dalam tahap eksekusi. Dorodjatun tidak berhasil menyalurkan dana ke sektor riil karena kebijakan independensi BI pada masa itu begitu kaku. Bahkan, Dorodjatun terpaksa menegaskan bahwa pernyataannya tidak bermaksud mengkritik BI karena konsekuensi hukum yang bisa mencapai denda Rp 2 miliar.
Sebaliknya, Purbaya bergerak lebih leluasa. Ia mampu menyampaikan dan mewujudkan gagasannya karena koordinasi antara Kementerian Keuangan dan BI kini jauh lebih erat. Kerja sama antarlembaga memungkinkan dana Rp 200 triliun dialihkan dari cadangan pemerintah di BI senilai Rp 430 triliun menuju sistem perbankan. Bank-bank pun akan berupaya mengelola dana itu untuk mencari imbal hasil lebih tinggi, meski harus menanggung bunga deposito sebesar 4 persen per tahun.
Dengan mekanisme tersebut, Purbaya berharap perbankan semakin agresif menyalurkan kredit. Pertumbuhan kredit otomatis akan memberi dorongan signifikan bagi sektor riil. Anwar juga menilai langkah ini mampu menggerakkan roda perekonomian nasional secara keseluruhan.
Profil dan Kekayaan Purbaya Yudhi Sadewa
Purbaya lahir di Bogor pada 7 Juli 1964. Ia meraih gelar Sarjana Teknik Elektro dari Institut Teknologi Bandung (ITB), lalu melanjutkan studi di Purdue University, Amerika Serikat, hingga meraih gelar MSc dan Ph.D bidang Ekonomi.
Karier profesionalnya dimulai sebagai Field Engineer di Schlumberger Overseas SA pada 1989–1994. Setelah itu, ia menekuni riset ekonomi dengan bergabung sebagai Senior Economist di Danareksa Research Institute pada 2000–2005. Purbaya kemudian memimpin PT Danareksa Securities sebagai Direktur Utama pada 2006–2008 serta menjabat Chief Economist Danareksa Research Institute hingga 2013.
Di pemerintahan, ia pernah menjadi Staf Khusus Bidang Ekonomi Kemenko Perekonomian, Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi Kemenko Marves, hingga Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Dari LPS, kariernya terus berlanjut hingga dipercaya Presiden sebagai Menteri Keuangan pada 2025.
Selain rekam jejak profesional, publik juga menyoroti harta kekayaan Purbaya. Berdasarkan LHKPN 2025, total kekayaannya mencapai Rp 39,21 miliar. Kekayaan itu terdiri dari tanah dan bangunan senilai Rp 30,50 miliar di Jakarta Selatan, kendaraan bermotor senilai Rp 3,60 miliar, surat berharga Rp 220 juta, serta kas dan setara kas Rp 4,20 miliar. Menariknya, laporan tersebut menunjukkan ia tidak memiliki utang sama sekali.