hargasaham.id – Langkah awal Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa langsung mendapat perhatian.
Purbaya mengambil langkah signifikan dengan menarik dana kas negara sebesar Rp200 triliun dari Bank Indonesia (BI) pada Jumat (12/9/2025).
Dana besar ini akan disalurkan ke sejumlah bank BUMN atau Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) untuk mendorong pertumbuhan ekonomi melalui penyaluran kredit.
Bank Himbara antara lain BRI, Mandiri, BTN, dan BNI.
Keputusan ini memicu perdebatan di media sosial, di mana netizen membandingkan langkah Menteri Keuangan Purbaya dengan kebijakan Menteri Keuangan sebelumnya, Sri Mulyani Indrawati, yang tidak pernah mengambil langkah serupa.
Lantas, bagaimana para ahli ekonomi melihat kebijakan ini?
Direktur Eksekutif Center of Economic Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menjelaskan bahwa perbedaan ini bukan sekadar masalah strategi, melainkan pemahaman terhadap risiko.
Ia mengingatkan bahwa pada masa pandemi, Sri Mulyani pernah menolak skemabagi tanggung jawab(membagi beban) karena khawatir akan memicu inflasi.
Skemabagi tanggung jawabatau “pembagian beban” adalah kebijakan di mana pemerintah dan bank sentral (dalam hal ini, Bank Indonesia/BI) bekerja sama untuk menanggung biaya pembiayaan negara.
Risiko ini muncul karena beredarnya uang M2 (uang kertas, giral, uang kuasi, dan surat berharga) akan meningkat, yang dapat mengikis independensi BI dan menurunkan kepercayaan investor.
M2 adalah kependekan dari Monetary Aggregates 2. Istilah ini digunakan dalam ilmu ekonomi dan keuangan untuk mengukur jumlah uang beredar dalam suatu perekonomian.
“Bukan masalah strategi yang berbeda, tetapi pemahaman risiko,” kata Bhima kepada Kompas.com, Sabtu (13/9/2025).
Bhima menambahkan, langkah Purbaya saat ini lebih fokus pada sisi moneter, yaitu dengan menambah pasokan uang melalui Himbara.
Namun, menurutnya, ada risiko yang perlu diwaspadai: pasokan uang meningkat, tetapi belum tentu diikuti oleh kenaikan permintaan kredit.
“Daya beli sedang menurun, pengusaha ingin meminjam uang dari bank untuk apa?” katanya.
Jika pemerintah terlalu memaksa bank untuk menyalurkan kredit, hal ini bisa mendorong bank Himbara mengambil risiko tinggi.
Indikator Non-Performing Loan (NPL) atau rasio kredit macet berpotensi meningkat, yang dapat merugikan kesehatan perbankan.
“Pendekatan Pak Purbaya harus diakui tidak biasa, tetapi belum teruji,” tutup Bhima.
Solusi Jangka Panjang: Kebutuhan Perbaikan Iklim Ekonomi
Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, mengatakan bahwa gagasan untuk “mengguyur likuiditas” atau menambah pasokan uang sebenarnya sudah pernah dibahas dalam tim ekonomi pemerintah sejak era Jokowi-Jusuf Kalla.
Namun, tindakan tersebut tidak diambil karena ada pilihan kebijakan lain yang dianggap lebih tepat.
“Sebenarnya saat ini perbankan kitadi atas cairan, akibat dunia usaha tidak melakukan ekspansi, karena kondisi ekonomi yang tidak kondusif,” jelas Wijayanto.
Menurutnya, tanpa perbaikan mendasar pada kondisi ekonomi dan iklim investasi, penyaluran kredit tidak akan meningkat secara signifikan.
Ia khawatir, dana yang diambil dari BI justru hanya digunakan oleh bank untukRefinancing kredityang sudah ada.
Refinancing kreditadalah proses mengganti perjanjian kredit yang sudah ada dengan perjanjian kredit yang baru.
Dana sisa dari refinancing ini, katanya, bisa digunakan untuk membeli kembali dalam bentuk SBN (Surat Berharga Negara) atau SRBI , bukan dialirkan sebagai kredit baru.
Wijayanto menegaskan bahwa kebijakan yang mendorong permintaan (misalnya, dengan meningkatkan daya beli masyarakat) jauh lebih penting daripada sekadar mendorong penawaran kredit.
Ia berpendapat bahwa jika suatu kebijakan memang baik, maka bank-bank swasta juga akan berebut untuk melaksanakannya tanpa perlu dipaksa.
>”Jika jalan harus dipaksa, artinya ini adalah kebijakan yang tidak sesuai dengan kondisi nyata di lapangan,” tambahnya.
Catatan:
M2 adalah kependekan dari Monetary Aggregates 2. Istilah ini digunakan dalam ilmu ekonomi dan keuangan untuk mengukur jumlah uang beredar dalam suatu perekonomian.
Secara spesifik, M2 mencakup uang tunai dan simpanan yang sangat likuid, yang dapat dengan mudah diakses dan digunakan untuk transaksi.
Secara matematis, Uang M2 dapat dirumuskan sebagai berikut:
M2 = Uang Kartal + Uang Giral + Uang Kuasi + Surat Berharga
M2 adalah salah satu indikator atau ukuran jumlah uang yang beredar dalam suatu perekonomian. Secara sederhana, M2 mencakup uang yang paling mudah diakses hingga yang kurang likuid, yang semuanya bisa digunakan sebagai alat pembayaran.
Berikut adalah komponen-komponen yang membentuk Uang M2:
1.Uang Kartal: Ini adalah uang tunai yang sering kita gunakan sehari-hari, seperti uang kertas dan uang logam.
2. Uang Giral: Ini adalah saldo dana di rekening giro atau tabungan yang dapat ditarik kapan saja atau digunakan untuk transaksi, seperti melalui cek atau bilyet giro.
3. Uang Kuasi: Ini adalah aset keuangan yang tidak dapat digunakan langsung sebagai alat pembayaran, tetapi sangat mudah diubah menjadi uang tunai. Contohnya termasuk tabungan (selain giro), deposito berjangka, dan mata uang asing.